Hingar bingar akademisi di siang itu merangsang gairahku untuk berjalan-jalan di
keramaian. Kupalingkan titik pandang sesekali lalu kutangkap beragam raut wajah
yang beku, “ suasana hari ini seperti bertamasya ke pekuburan “ gumamku. Biasanya
mereka seperti pelangi yang selalu berwarna dibalik mendungnya awan dan lirih
sinar sang surya.
Kedua kaki masih saja berlomba hingga akhirnya kukendalikan
menuju ke sekelompok orang yang selalu kuberi predikat “ teman ”. Dengan
langkah kecil dan rapat aku mendekat
lalu mengambil tempat yang memang sudah kupesan sejak kami berhasil sepakat
atas “ persahabatan “. Selalu saja ada syair pembuka untukku, seolah mengantarkan
aku ke pembahasan mereka. Ribuan kalimat diolah dan diisi dengan pembahasan
tentang suatu pesta, kemegahan, dan kepuasan. Seperti medan magnet,ada positif
ada pula negative, ada yang berbicara ke utara,timur,selatan, dan barat. Dengan
raga yang berbeda dan jiwa masing – masing membuat percakapan begitu berwarna
hingga kulupakan raut – raut wajah orang mati tadi.
Tenggelam dengan berbagai topik yang tak tentu arah dan apa
nilainya itu sudah menjadi alarm bagi mereka untuk bergegas menuju ruang
hidupnya masing masing. Saling melempar senyum dan tawa mereka hilang ke
dimensi mereka sendiri, pulang kerumah,pulang ke penampungan anak titipan
daerah yang berbayar, “ Ha . ha . ha hidup anak kost “.
Aku tertinggal ditemani hening tanpa rasa, aku juga harus
kembali ke dimensi ku sendiri yang tentu pola rajutnya berbeda.
Langkahku terburu –buru dan diburu rasa ingin membuang air
hasil seni organ – organ ragawiku, “ kenapa harus dikeluarkan ? Katanya seni, harusnya
disimpan saja,walaupun pada akhirnya berurusan dengan resep-resep dokter . . . “
Yah memang harus dibuang disitulah seninya. Kutuntaskan urusan di tempat yang
berlabel “ semak dan dinding “ , aku dikejutkan oleh suara parau lelaki yang
asing. “ Hei mau kah kau ikut denganku ke suatu tempat yang tidak kau ketahui ? “ katanya.
Sembari memarkir kembali alat seni ku, kesempatkan menoleh memastikan apakah wajahnya pernah tergambar di memori otakku.
Ternyata memang “ asing “. Spontan saja gelengan kepala kuberi dengan ikhlas atas ajakannya. Tidak biasanya aku menolak apapun dari siapapun.
Dibalasnya gelenganku dengan menggorok lehernya sendiri seolah mengisyaratkan kekecewaan. Kakiku terpaku menyatu dengan tanah, tubuhku membatu akibat peraduan takut, kaget, heran, dan bingung. Kebekuan saat itu terpecah seketika, diiringi langkah kaki yang cepat dan nyaring.
Seorang perempuan ternyata, sifat manusiaku mulai bertingkah, yah dia cantik dengan rambut yang terurai sampai dileher. Pakaian serba hitam membalut tubuhnya, matanya sayu tapi terasa sakit jika kupandangi. “ siapa ? “ tanyaku spontan.
“ Mau kah ikut denganku ? jawabnya, jawaban yang membuat pilihan ganda di mulutku, “ kemana ? “, “ tidak “ atau “ iya “.
Aneh,ragaku mengendalikan apa yang biasanya jiwaku ingin lakukan, aku berlalu dengan kata “ tidak “ yang bergema di telingaku sendiri.
Perilaku yang sama ditunjukkannya di depanku, menggorok leher kemudian mereka pergi berlalu. Sejenak aku terhenti dan melihat kemana mereka akan menghilang, diikuti darah dari leher mereka, gelapnya ruang yang tidak sempat kumasuki tadi menelan mereka dengan tegas !
Mereka menghilang di WC yang tidak layak mendapatkan apresiasi dari kelompok manapun.
. . . “ oiii kuliah oiii” samar terdengar,dan menyadarkan aku dari sofa tempatku merebahkan diri.
“ oh Cuma mimpi ji “.
Dalam kebisingan suara mahasiswi dengan pasrah kuputuskan untuk tidur lagi.
“ nd’ kuliah ko kah ? “ ujar temanku.
“ Zzz… “.
Sembari memarkir kembali alat seni ku, kesempatkan menoleh memastikan apakah wajahnya pernah tergambar di memori otakku.
Ternyata memang “ asing “. Spontan saja gelengan kepala kuberi dengan ikhlas atas ajakannya. Tidak biasanya aku menolak apapun dari siapapun.
Dibalasnya gelenganku dengan menggorok lehernya sendiri seolah mengisyaratkan kekecewaan. Kakiku terpaku menyatu dengan tanah, tubuhku membatu akibat peraduan takut, kaget, heran, dan bingung. Kebekuan saat itu terpecah seketika, diiringi langkah kaki yang cepat dan nyaring.
Seorang perempuan ternyata, sifat manusiaku mulai bertingkah, yah dia cantik dengan rambut yang terurai sampai dileher. Pakaian serba hitam membalut tubuhnya, matanya sayu tapi terasa sakit jika kupandangi. “ siapa ? “ tanyaku spontan.
“ Mau kah ikut denganku ? jawabnya, jawaban yang membuat pilihan ganda di mulutku, “ kemana ? “, “ tidak “ atau “ iya “.
Aneh,ragaku mengendalikan apa yang biasanya jiwaku ingin lakukan, aku berlalu dengan kata “ tidak “ yang bergema di telingaku sendiri.
Perilaku yang sama ditunjukkannya di depanku, menggorok leher kemudian mereka pergi berlalu. Sejenak aku terhenti dan melihat kemana mereka akan menghilang, diikuti darah dari leher mereka, gelapnya ruang yang tidak sempat kumasuki tadi menelan mereka dengan tegas !
Mereka menghilang di WC yang tidak layak mendapatkan apresiasi dari kelompok manapun.
. . . “ oiii kuliah oiii” samar terdengar,dan menyadarkan aku dari sofa tempatku merebahkan diri.
“ oh Cuma mimpi ji “.
Dalam kebisingan suara mahasiswi dengan pasrah kuputuskan untuk tidur lagi.
“ nd’ kuliah ko kah ? “ ujar temanku.
“ Zzz… “.
OmB
No comments:
Post a Comment